Entrepreneurship

Dunia Wira Usaha Indonesia

Sunday, August 17, 2008

Reformasi kimia Farma Ala Gunawan Pranoto

Pria kelahiran Yogyakarta tahun 1951 ini bersama segenap jajaran direksi dan staf karyawan mengubah persepsi dan citra lama tentang Kimia Farma. Caranya, secara fisik memperbaharui penampilan eksterior dan interior sebanyak 270 apotek yang dikelola yang tersebar di seluruh Indonesia. Bersamaan itu diciptakan pula budaya baru di lingkungan setiap apotek untuk lebih berorientasi kepada pelayanan konsumen.

Tidaklah mengheranbkan jika Sarjana Farmasi lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 1977, ini mengambarkan, 25 persen kesembuhan pasien diharapkan dihasilkan oleh kenyamanan dan kebaikan pelayanan apotek. Sedangkan sisanya 75 persen lagi berasal dari obat yang digunakan pasien.

Peraih predikat apoteker sejak tahun 1978 ini menyiapkan anggaran tidak sedikit untuk melakukan perubahan persepsi itu, sekitar Rp 13,5 miliar hingga Rp 27 miliar. Untuk satu apotek dia menghabiskan biaya antara Rp 50-100 juta. Angka itu masih di luar kebutuhan untuk biaya program training seluruh karyawan.

Dia, yang sempat menjabat Presiden Direktur PT Phapros April 2002 hingga sebelum terpilih sebagai Presiden Direktur PT Kimia Farma, Tbk pada Juni 2002, sangat ingin BUMN bidang farmasi yang dipimpinnya membawa wajah dan penampilan baru.

Dengan konsep baru dia menjadikan setiap apotek Kimia Farma sebagai pusat pelayanan kesehatan atau health center. Kimia Farma bukan lagi terbatas sebagai gerai untuk jual obat, melainkan didukung berbagai aktivitas penunjang seperti laboratorium klinik, praktek dokter, dan gerai untuk obat-obatan tradisional Indonesia seperti herbal medicine. Bila perlu obat-obatan Indonesia itu dipersandingkan dengan obat-obatan Cina yang bagus dan resmi untuk menumbuhkan persaingan yang sehat.

Setiap apotek Kimia Farma dengan konsep baru haruslah mampu memberikan servis yang baik, penyediaan obat yang baik dan lengkap, berikut pelayanan yang cepat dan terasa nyaman.

Secara bertahap mantan presiden direktur PT Indo Farma selama 10 tahun antara 1991 hingga 2001 ini memulai langkah dengan mengubah image, logo, dan berbagai pernik lain menjadi sesuatu yang baru. Hasilnya adalah sebuah konsep dengan eksterior serta interior baru. Namun yang tak kalah penting adalah perubahan itu telah disertai dengan budaya pelayanan yang baru pula.

Belajar dari penglihatan dia akan kesuksesan manajemen Bank Mandiri melahirkan persepsi baru tentang bank pemerintah yang baik, dia pun optimis cerita sukses serupa bisa dia lakukan di PT Kimia Farma, Tbk sebagai BUMN bidang farmasi yang baik.

Ayah dua orang anak ini selalu menjalankan bisnis sesuai dengan kemampuan yang dibarengi dengan itikad baik. Dia berprinsip seseorang boleh pintar dan hebat, namun kalau itikadnya tidak baik maka hasilnya adalah sebuah perusahaan yang tidak baik pula. Demikian pula Kimia Farma akan bisa menjadi perusahaan yang baik atau malah menjelma menjadi perusahaan yang tidak baik.

Sebagai putra kelahiran Yogyakarta seluruh pendidikan formalnya dia selesaikan di wilayah situ juga. Seperti, Sekolah Dasar (SD) di Bantul lulus tahun 1962, Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1965, Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1968, hingga perguruan tinggi dia selesaikan di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, jurusan farmasi selesai tahun 1977.

Dia berhasil meraih predikat apoteker persis setahun kemudian yaitu di tahun 1978. Masih pada tahun yang sama, tahun 1978, dia mulai bekerja sebagai General Manager di PT Rajawali Nusindo, Jakarta, sebuah anak perusahaan BUMN RNI Group. Di situ sehari-hari dia bertanggungjawab perihal distribusi obat-obatan dan alat kesehatan produksi PT Phapros, Semarang, masih anak perusahaan RNI Group, maupun produksi dari prinsipal asing dan domestik.

Bersamaan itu dia ditugaskan pula untuk mengkoordinasikan kegiatan pemasaran produk PT Phapros, sebuah tugas yang dia jalani hingga tahun 1983. Semenjak tahun 1984 hingga 1988 penggemar olahraga tenis ini memperoleh penugasan baru sebagai General Manager PT Phapros, di Semarang.

Usai dari Semarang dia kembali ke Jakarta sebagai General Manager di PT Rajawali Nusindo, Jakarta tahun 1989-1991. Lepas dari itu posisinya meningkat langsung menjadi Presiden Direktur PT Indofarma, selama 10 tahun sejak 1991 hingga 2001. Dia masih sempat kembali sebentar ke PT Phapros, Semarang, namun sudah sebagai direktur utama yaitu di bulan April 2002. Pada bulan Juni 2002 oleh para pemegang saham dia dipercaya memimpin PT Kimia Farma Tbk, sebagai presiden direktur dengan dukungan ribuan karyawan.

Dengan jumlah karyawan ribuan dia harus benar-benar mengutamakan aspek sumberdaya manusia (SDM) dalam setiap menggerakkan roda perusahaan. Karenanya peran SDM bagi dia menjadi sangat penting untuk menentukan maju mundur perusahaan. “Dan tidak hanya perusahaan saya kira, negara juga begitu,” ujarnya menggambarkan begitu strategisnya aspek SDM bagi kemajuan perusahaan, termasuk Kimia Farma yang masih menguasai pangsa pasar obat generik sekitar 22-23 persen, terbesar kedua di bawah PT Indofarma, Tbk.

Kepercayaan pemegang saham itu sesungguhnya tidaklah berlebihan untuk seseorang yang telah sangat paham dengan lika-liku kepemimpinan perusahaan. Sebab sebelumnya dia sudah kenyang dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan manajemen yang diperoleh dari berbagai pelatihan, lokakarya, dan berbagai seminar kepemimpinan.

Misalnya, pendidikan dan latihan di Departemen Keuangan tahun 1982, lokakarya perencanaan strategis dan pengambilan keputusan di LPPM tahun 1983, decision making and problem solving (Minaut) juga di LPPM tahun 1984, lokakarya pengelolaan industri farmasi masih di LPPM tahun 1986, dan dari berbagai seminar dalam dan luar negeri.

Dengan beragam keahlian manajemen itu dia memimpin PT Kimia Farma, Tbk yang memiliki beragam produk seperti produk ethical, over the counter (OTC), hingga herbal medicine alias jamu-jamuan. Terdapat 250 jenis produk dihasilkan dan dipasarkan oleh Kimia Farma sebagian terbesar untuk konsumsi dalam negeri. Merek-merek yang sudah dikenal luas misalnya Batugin, Enkasari, Antussin, Fitolac, dan lain-lain.

Obat antibiotik adalah unggulan Kimia Farma, sama seperti perusahaan farmasi lainnya. Kondisi demikian terkait dengan pola penyakit di Indonesia yang dominan penyakit infeksi. Baru Kemudian menyusul obat-obatan degeneratif seperti obat jantung, kardiovaskuler, dan lain-lain.

Selain memahami betul persoalan kepemimpinan dan manajemen perusahaan dia juga sarat dengan beragam kegiatan organisasi profesi bidang farmasi. Dia adalah Ketua I Pengurus Daerah (Pengda) Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) wilayah Jawa Tengah, tahun 1987-1988.

Kemudian di tingkat nasional dipercaya sebagai Ketua Bidang Industri PP (Pengurus Pusat) GP Farmasi Indonesia (1989-1995), serta Wakil Ketua Umum PP GP Farmasi Indonesia (1996-1999). Yang terbaru adalah menduduki posisi sebagai Ketua Majelis Kode Etik di GP Farmasi serta Ketua III Pengurus Pusat GP Jamu Indonesia sejak tahun 2000.

Dengan beragam kelebihan yang dimiliki dia bermaksud menaikkan grade perusahaan pemegang sertifikat ISO 9001 dan ISO 9002 ini ke posisi tiga besar industri farmasi terbesar Indonesia. Jalan ke arah itu adalah mendongkrak kinerja perseroan dan cara adalah melakukan upaya restrukturisasi.

Implementasi restrukturisasi diharapkan mampu meningkatkan value perusahaan paling tidak 50 persen lebih tinggi dari kondisi normal. Naik tidaknya kinerja perusahaan itu terlihat pada posisi harga saham PT Kimia Farma, Tbk di lantai bursa. ►ht

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home