Entrepreneurship

Dunia Wira Usaha Indonesia

Friday, August 22, 2008

Lani Cahyaningsari : Sulap Kaleng Bekas Jadi Cantik



Semua ini berkat dorongan bapak mertua, Budi Heryanto. Kebetulan kami berlima (Lani dan saudara-saudara dari keluarga suami), suka melukis. Bapak bilang, hobi melukis ini bisa dijadikan sumber penghasilan. Tak hanya ucapan, Bapak memfasilitasi kami dengan membuka galeri di restoran miliknya di Jalan Cilandak KKO, Jakarta Selatan. Di galeri restoran yang cukup luas inilah, kami memajang karya kami.

Nah, di tahun 1998 itu, mulanya kami melukis di gerabah, keramik, kayu. Misalnya saja kayu berukir dari Jepara berupa kotak tisu atau tempat hiasan. Seiring waktu, saya tertarik melihat kaleng kerupuk yang tampak polos banget. Terpikir di benak saya, alangkah indah seandainya dilukis. Saya mencoba melukis dua kaleng kerupuk. Ketika saya pajang di galeri, ternyata ada peminatnya. Saya bikin lagi sepuluh buah, eh cepat habis juga.

Karena animonya sangat bagus, media kayu saya tinggalin dan beralih ke kaleng. Untuk kaleng kerupuk, saya membuat berbagai ukuran variasi dari kecil sampai besar. Bahannya saya pesan dari perajin kaleng. Kaleng yang saya buat juga makin beragam. Ini berkat masukan pemesan. "Kok enggak ada kotak CD atau kotak majalah?" Saya tergerak membuat berbagai bentuk. Ada kotak lampu, celengan, tong, meja belajar.

Saya terus berkreasi, sampai akhirnya memanfaatkan kaleng bekas. Ceritanya ibu saya, kan, senang membuat kue dan dititipkan di restoran. Banyak sekali kaleng bekas susu kental manis. "Ma, kalengnya jangan dibuang nanti saya pakai," ujar saya. Kaleng bekas itu saya lukis dan saya jadikan tempat pensil.

Bagaimana respons pasar?
Mereka suka banget. Boleh dibilang, salah satu andalan produk yang saya beri nama Kaleng Lani adalah tempat pensil dari kaleng bekas susu ini. Apalagi, gambar yang saya buat bermacam-macam, tidak pernah ada yang sama. Harganya pun murah, hanya Rp 12.500.

Saya makin tertarik memanfaatkan kaleng bekas untuk media lukisan. Saya coba membuat di kaleng yang lebih besar, misalnya susu bayi atau kaleng bekas cat. Kaleng-kaleng ini saya jadikan tempat sampah, tempat mainan, atau meja belajar.

Karya Anda dari kaleng bekas ini justru jadi nilai lebih, ya?
Benar. Apalagi, belakangan ini ada isu global warming. Saya pun sering diundang ke berbagai acara berbau lingkungan, misalnya saja dalam acara Green Festival beberapa waktu lalu.

Mereka tertarik karena produk saya daur ulang atau memanfaatkan barang yang tidak terpakai. Selain kaleng bekas, saya tetap pakai kaleng baru. Kendala kaleng bekas, kan, bentuknya terbatas. Selama ini, tiap kali saya ikut pameran, sambutan masyarakat selalu bagus.

Apa, sih, ciri khas Kaleng Lani?
Saya melukis kaleng dengan warna-warna cemerlang. Kebetulan saya memang membidik pasar untuk anak-anak dan ibu muda. Anak-anak, kan, lebih suka warna-warna cerah. Di lukisan saya yang bergaya naif atau kanak-kanak, saya manfaatkan juga untuk media sarana anak belajar. Misalnya saja saya lukis gambar binatang, alat-alat transportasi, huruf, angka. Oh ya, agar aman untuk anak, saya mengggunakan cat antitoksin.

Ternyata, Kaleng Lani memang menarik minat orang. Saya sering menerima pesanan berjumlah 50-100 buah kaleng dari susu ini untuk suvenir ulang tahun. Kepada pemesan saya tawarkan untuk menuliskan nama teman yang diundang di kaleng yang saya lukis. Jadi, sifatnya personal. Ternyata banyak yang suka. Untuk pesanan dalam jumlah banyak, saya butuh waktu 3 minggu sampai sebulan.

Anda dapat pesanan untuk acara apa lagi?
Sekarang sedang banyak pesanan untuk acara perpisahan sekolah. Pesanan memang sering tergantung momen. Misalnya saat Lebaran, saya kebanyakan menerima pesanan dengan gambar anak-anak kecil pakai baju muslim atau gambar masjid. Saat Natal, tema gambar tentu juga berkaitan dengan suasana Natal.

Saya juga menerima banyak pesanan dari karyawan. Misalnya saja karyawan yang bersangkutan pindah kantor. Mereka ingin memberikan kenang-kenangan untuk kawan-kawannya. Nah, saya diminta membuat kaleng untuk suvenir.

Produk apa saja, sih, yang Anda bikin?
Macam-macam, dari jam, tempat CD, wadah tisu, celengan, bahkan juga meja belajar. Untuk meja belajar ini, bahannya dari tong besar, lalu saya tutup. Nah, di dalam tong ini sekalian bisa untuk tempat buku-buku atau mainan.

Bagaimana dulu Anda memperkenalkan produk Anda ke masyarakat?
Saya beberapa kali ikut bazar. Karya saya makin dikenal setelah ikut NOVA Fair beberapa tahun lalu di JCC. Sejak itu, mulai banyak pesanan datang.

Repot enggak, sih, menerima pesanan dalam jumlah besar?
Awalnya, semua saya kerjakan sendiri. Mulai dari belanja alat, desain, sampai finishing. Namun, seiring semakin banyaknya pesanan, saya tidak sanggup lagi mengerjakan sendiri. Sekarang saya dibantu dua karyawan tetap. Kalau masih kerepotan, saya mencari tenaga kerja lagi. Itu pun saya masih sering nglembur dan tidak tidur.

Khusus untuk karyawan, jam kerja mereka mulai jam 09.00-17.00. Usai mereka pulang, saya masih juga melakukan finishing. Wah, kewalahan juga menerima banyak pesanan.

Kenapa tidak semua dikerjakan karyawan?
Saya, kan, mesti mempertahankan gaya lukisan saya. Itu sebabnya, sebagian pekerjaan masih saya pegang. Karyawan bisa mengerjakan warna dasar, lalu saya mendesain dengan pensil. Karyawan melanjutkan lagi dengan pewarnaan. Proses berikut, saya yang melakukan finishing.

Sebelumnya, karyawan sudah saya arahin. Misalnya tentang pilihan warna. Saya sudah membuat pakemnya. Selain itu, karyawan mengerjakan order di rumah saya di kawasan Tanah Batu, Depok. Saya pun jadi lebih gampang mengawasi.

Berapa besar, sih, kapasitas produksi Anda?
Sekarang, seminggu bisa mengerjakan seratusan suvenir. Selain pesanan dalam jumlah besar, saya juga masih menerima pesanan satu atau dua kaleng. Lihat di galeri saya itu, saya baru saja menyelesaikan pesanan jam dengan ukuran relatif besar. Jam itu dipesan seseorang untuk hadiah anaknya. Gambar modelnya saya ambil dari wajah si anak.
Sering pula saya menerima pesanan dari TK berupa tong. Malah saya dapat juga pesanan membuat tong dari dokter gigi dan dokter anak. Tong-tong itu ditaruh di ruang praktik mereka.
(Harga produk yang ditawarkan Leni sangat beragam. Mulai dari wadah pensil seharga Rp 7.500, sampai satu set terdiri dari tiga drum seharga Rp 700 ribu.)

Omong-omong sejak kapan Anda suka melukis?
Mulai kecil. Kebisaan melukis saya manfaatkan untuk mencari uang. Pernah lho semasa SMA saya membuat lukisan kartu Lebaran. Saya menawarkannya kepada teman-teman. Bahkan, waktu kuliah di Arsitektur, Universitas Trisakti, Jakarta, saya pernah meraih juara pertama lomba poster yang diselenggarakan Unicef.

Anda juga masih melukis di kanvas?
Tentu saja. Untuk lukisan di kanvas, tingkat kesulitannya lebih tinggi. Tahun 2000, saya diajak ikut pameran bersama pelukis lain. Sejak itu, kegiatan pameran bersama mulai rutin, setidaknya setahun dua kali. Sesuai standar, tiap pameran saya mengikutkan 4 - 5 lukisan. Hasilnya lumayan, sih. Selama ikut pameran, sudah sekitar 30-an lukisan kanvas saya terjual.

Saat Anda melukis di rumah, anak-anak tidak mengganggu?
Mereka tahu, kok, ibunya sedang bekerja. Bahkan, anak kedua saya, Shafamira Jasmine (5) sudah menunjukkan minat yang besar pada lukisan. Terkadang dia membantu saya mengecat. Si bungsu Qinthara Amalia (2) juga suka ikut-ikutan.

Senangnya lagi suami saya, San Judi Roseno, juga senang melukis. Suami yang kerja di bidang furniture sering pula ikut menemani saya ikut pameran.

Kisah Sukses Seorang Wirausahawan Sosial



Oleh: ST SULARTO


Peringatan 70 tahun usia Bambang Ismawan, lahir 7 Maret 1938, ditandai dengan terbitnya dua buku. Buku pertama berjudul Bambang Ismawan Bersama Wong Cilik dan buku kedua Mazmur Ismawan.



Delapan puluh dari 284 halaman buku pertama berisi perjalanan hidup Bambang Ismawan, lengkapnya Fransiskus Xaverius Bambang Ismawan, mulai dari desa kelahirannya di Babat, Lamongan, Jawa Timur, sampai di Jakarta, tepatnya di Cimanggis, Jawa Barat; sisanya sekitar 200 halaman berisi komentar-komentar teman, kolega, dan orang-orang yang pernah bersentuhan dengan Bambang Ismawan atau Bina Swadaya, yayasan yang menaungi berbagai usaha Bambang Ismawan bersama sejumlah kerabatnya.


Adapun buku kedua berisi napak tilas jejak langkah Bambang Ismawan, sebuah perjalanan retret bersama istri, Sylvia Ismawan, dan sejumlah teman dekat selama tujuh hari, menziarahi berbagai tempat di Jawa, dari Babat sampai Cimanggis. Kedua buku terangkai sebagai kisah sukses seorang wirausahawan sosial Bambang Ismawan.



Nama Bambang Ismawan tak bisa dipisahkan dengan Yayasan Bina Swadaya, sebuah yayasan yang semula bernama Yayasan Sosial Tani Membangun, didirikan bersama I Sayogo dan Ir Suradiman tahun 1967. Komitmen dan perhatiannya pada pemberdayaan masyarakat kecil (wong cilik) sudah terlihat sejak menjadi mahasiswa FE UGM—yang tidak mau menjadi pengusaha seperti umumnya alumni fakultas ekonomi pada masa itu—membawa Bambang Ismawan terlibat dalam kegiatan alternatif pemerintah yang dulu dikenal sebagai organisasi nonpemerintah (ornop), nongovernment organization (NGO), tetapi kemudian dia introdusir nama lembaga swadaya masyarakat (LSM), sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang kemudian dipakai sebutan umum segala kegiatan yang tidak berasal dari pemerintah, baik yang memfokuskan kegiatan advokasi maupun aksi langsung.



Bambang Ismawan bersama Bina Swadaya dikenal sebagai pelopor gerakan LSM yang berusaha mandiri, tidak tergantung dari bantuan, lewat berbagai usaha—dalam buku kedua disebutkan sebagai LSM terbesar di Asia Tenggara—karena itu pernah disindir sebagai membisniskan kemiskinan pada era tahun 1980-an. Namun, pada satu dekade kemudian, Bambang membuktikan langkah yang dia lakukan selama ini tidak keluar dari jalur pemberdayaan.



Koperasi yang dirintis awal kegiatan Bina Swadaya membuktikan masyarakat bisa mandiri, yaitu orang memperoleh kepastian atas hak miliknya, yang sejalan dengan pemikiran sosiolog Hernando de Soto, yaitu kepastian hak milik dipenuhi antara lain lewat sertifikasi tanah. Dalam konteks kemudian, mengaku berkali-kali bertemu pemenang Nobel dari Bangladesh, Muhamad Yunus, apa yang dilakukannya dalam menggerakkan swadaya masyarakat adalah mengadvokasi dan memberikan semangat bekerja pada masyarakat.



Bina Swadaya yang dirintis dan dikembangkannya saat ini dari sisi sebuah usaha dengan omzet Rp 20 miliar, 900 karyawan tetap, melayani secara langsung 100.000 keluarga miskin. Pusdiklat di Cimanggis sudah melatih sekitar 7.000 pimpinan LSM pengelola pemberdayaan masyarakat, penerbitan majalah luks pertanian Trubus yang terbit pertama tahun 1969 kini dengan oplah 70.000 eksemplar, penerbitan buku-buku pertanian sejak 25 tahun lalu disusul buku-buku kesehatan, keterampilan, dan bahasa, 12 toko pertanian di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.



Bina Swadaya tidak lagi sebuah LSM yang kegiatannya mengandalkan dana pihak ketiga. Dalam usia 70 tahun, setelah 40 tahun lebih menangani Bina Swadaya sebagai Ketua Pengurus, resmi Bambang menyerahkan tongkat kepemimpinan pada Nico Krisnanto, mantan bankir yang sudah beberapa tahun belakangan ini magang di Bina Swadaya.


Tiga jalur


Dalam rencana kerja 10 tahun yang akan datang, Bina Swadaya ingin menjadi LSM yang besar dengan karyawan 5.000 orang pada tahun 2015 (buku pertama, hal 46), dengan tetap berpijak pada roh dan semangat awal, yakni pemberdayaan wong cilik. Sebutan macam-macam, akhirnya tepat yang dirumuskan untuk sosok Bambang Ismawan oleh Harry Tjan Silalahi, ”menolong wong cilik bukan karena merasa sebagai orang besar” (buku pertama, hal 25), menurut Frans Magnis Suseno SJ, ”berusaha di tingkat akar rumputbukan bagi masyarakat, melainkan bersama masyarakat untuk memperbaiki kehidupan mereka” (buku pertama, hal 111).



Menurut Bambang, untuk memberdayakan masyarakat dibutuhkan tiga jalur sebagai pegangan kerjanya selama lebih dari 40 tahun (buku pertama, hal 22-23). Jalur pertama lewat pengembangan kelembagaan. Lewat koperasi berbasis komunitas Bina Swadaya mendampingi lebih dari 20 juta keluarga bekerja sama dengan sejumlah lembaga. Lewat jalur ini koperasi yang digagas pertama kali oleh Bung Hatta sebagai usaha pemberdayaan masyarakat tetapi terperosok berhadapan dengan pengembangan ekonomi yang bermotif utama keuntungan margin, oleh Bina Swadaya dibuktikan sebagai lembaga yang tepat bagi pemberdayaan masyarakat.



Jalur kedua lewat jalur pengembangan ekonomi mikro. Menabung, kebajikan yang mungkin aneh di zaman konsumeristis sebagai penggerak roda ekonomi sekarang, oleh Bambang Ismawan dihidupkan sebagai jalur kedua pemberdayaan.



Dia beri contoh, di Cisalak para bakul harus membayar bunga 20 persen per bulan, di Muara Karang nelayan didera 50 persen bunga. Mengapa? Karena mereka tidak biasa menabung, tidak menyisihkan sebagian pendapatannya untuk disimpan. Yang perlu adalah pengubahan paradigma tentang sikap mengenai uang, lebih jauh tentang sikap hidup.



Bina Swadaya sejak tahun 1970-an mendorong masyarakat rajin menabung. Untuk usaha ini disalurkan kredit mikro bagi lebih dari sejuta orang di berbagai kota, dan tengah mengadopsi sistem Association for Social Advancement (ASA) yang dikembangkan Muhamad Yunus dari Bangladesh lewat Grameen Bank.



Jalur ketiga lewat promosi produk unggulan. Lewat majalah Trubus sudah diperkenalkan paling sedikit 19 produk unggulan yang mengangkat taraf hidup rakyat. Ada agroekspo, pengembangan burung walet, virgin coconut oil, anthurium, lobster air tawar, buah merah, sarang semut, dan lain-lain yang berdampak pada tumbuhnya lebih dari 4.000 industri agrobisnis.



Menurut Bambang, jalur tersulit dari tiga jalur itu adalah jalur kedua. Ada gesekan dan konflik kepentingan. Beberapa orang menyatakan tidak sanggup mengubah peran dari pendamping menjadi tukang tagih yang harus menjamin pengembalian pinjaman, sampai terjadi seorang direktur memperkarakan pengurus yayasan; suatu pekerjaan sulit sebab mengubah paradigma berpikir yang telanjur salah kaprah, dari meminjam uang berarti siap ngemplang menjadi siap mengembalikan.



Aktivitas Bambang diawali dengan keterlibatannya dalam organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat kecil, terutama sejak tinggal di Asrama Realino Yogyakarta dengan tempaan pemahaman tentang politik oleh Pastor Beek SJ. Adapun tempaan dan komitmen pada rakyat kecil dia belajar dan memperoleh penguatan dari Pastor John Dijkstra SJ, untuk masalah keuangan dari Pastor Christian Melchers SJ. Ketiga sosok itulah yang membentuk Bambang Ismawan sebagai seorang social entrepeneur yang tidak bergantung pada pihak ketiga, tetapi melakukannya secara berkelanjutan karena mampu berkembangberdasarkan penghasilan yang diperoleh dari pelayanan itu sendiri (buku pertama, hal 32-33).



Ada kesamaan antara wirausaha dan wirausaha sosial, yakni sama-sama mencari uang. Perbedaannya, wirausaha bertujuan meningkatkan kesejahteraan pemegang saham, wirausaha sosial bertujuan meningkatkan nilai kesejahteraan anggota masyarakat yang menjadi target pelayanannya. Sosok Bambang Ismawan teringkas dalam kedua buku itu. Dialah seorang wirausahawan sosial dengan payung Bina Swadaya sebagai LSM. Bina Swadaya melakukan kegiatan bisnis untuk mendapatkan keuntungan dan keuntungan itu untuk memberdayakan masyarakat (buku pertama, hal 33).


Rumah tanpa pagar


Sebagai wirausahawan sosial, Bambang mencita-citakan masyarakat Indonesia simbolis sebuah rumah tanpa pagar, rumah tanpa palang dengan halaman yang sama. Dalam kisah perjuangan menegakkan keadilan dan mempresentasikan hak-hak rakyat, tidak akan dijumpai cara-cara kekerasan seperti turun ke jalan atau teriak demo ”mendampingi wong cilik” atau ”memberdayakan masyarakat akar rumput”. Lewal Bina Swadaya ia turun ke lapangan, tidak secara fisik menjadi petani, menjadi bankir, atau menjadi tukang becak. Ia menggerakkan sarana dan ajakan agar masyarakat sendiri berubah sehingga bukankah itu cita-cita dan cara kerja yang seharusnya diambil oleh para penggiat masyarakat: mengubah paradigma cara berpikir dan memberikan sarana untuk itu.


Sebagai persembahan ulang tahun, kedua buku ini nyaris tidak banyak beda dalam hal mendudukkan sosok Bambang Ismawan.


Sebagian besar halaman buku pertama diisi oleh komentar dan tanggapan orang lain. Buku kedua berisi perjalanan napas tilas, sekaligus melukiskan bagaimana refleksi selama perjalanan disampaikan oleh Bambang yang kemudian direkam apik oleh Eka Budianta. Buku kedua melengkapi, memberikan kidung pujian (mazmur) untuk sepak terjang Bambang Ismawan selama 70 tahun, 44 tahun di antaranya dalam Bina Swadaya. Untuk itu buku pertama dan kedua harus dibaca bersama-sama, keduanya saling melengkapi. Begitu dibaca bersama, akan kelihatan banyak kisah dan pernyataan yang diulang-ulang, tumpang tindih, baik dalambuku pertama sendiri maupun dalam buku pertama dan kedua sekaligus.



Masih ada cita-cita Bambang yang belum terpenuhi, di antaranya ingin mendirikan koperasi yang benar-benar koperasi untuk rakyat kecil termasuk di dalamnya kegiatan simpan pinjam. Koperasi merupakan sarana masyarakat untuk mandiri, terlihat besarnya peranan gugus-gusus wilayah (guswil) yang berada di lapangan, apalagi guswil-guswil itu akan diubah menjadi koperasi. Koperasi yang dibayangkan tidak sekadar koperasi simpan pinjam, tetapi koperasi dalam layanan menyimpan, meminjam dan konsultasi (jasa pengembangan proyek), dan pengembangan masyarakat.



Jalan panjang melanjutkan cita-cita masih terbentang, seperti dikritik F Rahardi menyangkut bagaimana menjadikan guswil-guswil itu benar-benar menjadi tumpuan harapan rakyat dengan contoh kasus aktual masalah rawan pangan.

Sunday, August 17, 2008

Pengusaha Batik, Mantan Kernet Bus

Kegetiran hidup tak menyurutkan perjuangan Naomi Susilowati Setiono (46) dalam menjalani kesehariannya. Dengan berapi-api, wanita sederhana ini menuturkan kisah hidupnya yang diawali sebagai tukang cuci baju, pemotong batang rokok, kernet bus antarkota, dan akhirnya menjadi pengusaha serta perajin batik lasem.

Semua ini karena kebaikan Tuhan, ujarnya mensyukuri perbaikan hidup yang dialaminya. Meski bukan pengusaha batik nomor wahid di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, perempuan peranakan Tionghoa ini sangat terkenal di dunia perbatikan, khususnya batik lasem.

Hingga tak heran, rekan-rekannya memintanya untuk menjadi ketua cluster batik lasem, yang hingga kini belum diberi nama. Dalam waktu dekat, cluster ini akan dinamai menjadi semacam asosiasi perajin/pengusaha batik lasem.

Jenis batik lasem (atau laseman) yang perkembangannya jauh tertinggal dibanding batik solo dan yogya ini terus digeluti, meski masih menggunakan peralatan tradisional. Naomi yang memimpin Batik Tulis Tradisional Laseman Maranatha di Jalan Karangturi I/I Lasem, Rembang, ini mengerahkan 30 perajin guna mendukung usahanya.

Selain mengemban status single parent, Naomi terkenal aktif sebagai pendeta di gereja setempat. Bahkan, akhir-akhir ini ia disibukkan dengan mengisi seminar maupun pemaparan ke berbagai instansi mengenai seluk-beluk batik lasem.

Ia juga tengah merintis pengaderan perajin batik ke sekolah-sekolah secara gratis. Kalau tidak kami sendiri yang mengader, siapa lagi? Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, ujarnya.

Naomi mengaku pernah melontarkan gagasannya kepada Bupati Rembang Hendarsono (saat itu) untuk menyisipkan cara membatik ke dalam pelajaran muatan lokal. Sayangnya, ide ini tak ditanggapi dan dianggap tidak bisa berhasil.

Akhirnya, ia langsung turun ke sekolah-sekolah untuk menyampaikan gagasannya itu. Kini, ia masih menunggu tanggapan dari sekolah-sekolah. Jika masalah tempat, saya bisa meminjam balai desa, tak perlu keluar uang, ujarnya.

Meski sangat sibuk, produktivitasnya tak berubah. Setiap bulan Naomi dan rekan-rekan pekerja di tempatnya menghasilkan rata-rata 150 potong batik tulis. Batik-batik bermotif akulturasi budaya Cina dan Jawa ini dikirim ke berbagai daerah, seperti Serang (Banten), Medan (Sumut), dan Surabaya (Jatim).

Naomi menjelaskan, usaha batik yang digeluti sejak tahun 1990 ini merupakan limpahan dari orangtua. Namun, ia tidak semata-mata menerima begitu saja.

Pada tahun 1980, lulusan Sekolah Menengah Apoteker Theresiana Semarang ini mendapatkan masalah sehingga dikucilkan dari keluarga yang saat itu terpandang di wilayahnya. Ditolak dari keluarga yang telah mengasuhnya 21 tahun itu mau tak mau harus diterimanya. Ia pun pindah ke Kabupaten Kudus.

Di tempat ini ia menyingsingkan lengan baju dan bekerja sebagai pencuci pakaian. Tergiur penghasilan yang lebih tinggi, ia pindah sebagai buruh pemotong batang rokok di Pabrik Djarum Kudus.

Karena kurang cekatan, ia hanya mendapatkan penghasilan yang sedikit, Rp 375 per hari. Padahal teman-teman dapat memotong rokok berkarung-karung, bisa mendapat uang Rp 2.000-an, ujar lulusan Sekolah Tinggi Theologia Lawang, Jatim, ini.

Ia hengkang dan berpindah sebagai kernet bus Semarang-Lasem. Singkat cerita, orangtuanya memintanya kembali ke Lasem. Itu pun dengan berbagai cemooh. Saya ditempatkan di bawah pembantu. Mau minta air dan makan ke pembantu. Saya juga tidak boleh memasuki rumah besar, ujarnya.

Perlakuan ini ia terima dengan lapang dada. Sedikit demi sedikit ia mempelajari cara pembuatan batik lasem. Mulai dari desain, memegang canting, melapisi kain dengan malam, hingga memberi pewarnaan diperhatikannya dengan saksama.

Hingga suatu hari, tahun 1990, orangtuanya memutuskan tinggal dengan adik-adiknya di Jakarta. Usaha batik tidak ada yang meneruskan. Dari titik inilah Naomi dipercaya untuk melanjutkan usaha batik warisan turun-temurun ini.

Kesempatan ini digunakan Naomi untuk mengubah sistem dan aturan main bagi pekerjanya. Ia memberi kesempatan kepada perajin untuk menunaikan ibadah shalat. Sesuai kewajiban yang ingin mereka jalankan, saya memberikannya. Ini salah satu sistem baru yang saya terapkan, ujarnya yang pernah bercita-cita sebagai arkeolog.

Suasana kerja juga bukan lagi atasan dan bawahan. Ia menganggap perajin adalah rekan usaha yang sama-sama membutuhkan dan menguntungkan. Jika siang hari turun tangan dalam memproses batik, malam hari digunakannya untuk membuat desain.

Hingga kini, ibu dari Priskila Renny (23) dan Gabriel Alvin Prianto (17) ini masih tetap eksis di dunia perbatikan. Perlahan namun pasti, batik lasem mulai menggeliat dan dilirik kembali oleh para pencinta batik, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. (Ichwan Susanto, Kompas, 23 Januari 2006)

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Irawan Purwono Inspirator Bagi Entrepreneur Pemula

Kisah tentangnya sebagai wirausahawan sukses yang berhasil memulai bisnis dari puing-puing kegagalan, telah mendorong sekaligus menyemangati para pebisnis pemula untuk berani memulai usaha. Irawan Purwono adalah seorang entrepreneur yang memiliki inspirasi yang kuat dalam berbisnis, sehingga namanya sangat layak untuk disejajarkan dengan para pempimpin perusahaan terkemuka dunia lainnya.

Bahkan, nama Irawan Purwono selaku Chief Executive Officer (CEO) PT Nusantara Compnet Integrator (CompNet) pernah masuk sebagai finalis World Entrepreneur of The Year (WOEY) Tahun 2004, sebuah gelanggang pertemuan tahunan para pemimpin tertinggi perusahaan-perusahaan terbaik dunia yang digelar oleh Ernst&Young di Monte Carlo, Monaco.

Ajang unjuk prestasi serta pemaparan semangat dan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) para CEO dari seluruh dunia, khusus di Indonesia penilaian para finalisnya dilakukan oleh sejumlah anggota Dewan Juri yang sudah dikenal piawai dan kompeten di bidangnya. Saat itu, mereka terdiri Mari E. Pangestu (kini Menteri Perdagangan RI), Eva Riyanti Hutapea, Noke Kiroyan, Stanley Atmadja, dan Sihol Siagian.


Kepada Dewan Juri, Irawan Purwono kelahiran Semarang 7 September 1960 lantas membeberkan secara terbuka semua kisah perjalanannya berbisnis berikut pasang-surut dan gagal-kisah sukses perjalanan perusahaan PT Nusantara Compnet Integrator (CompNet), sebuah entitas bisnis baru yang secara khusus menyediakan jasa pelayanan solusi total sistem integrasi jaringan komputer.


Integrasi sistem jaringan komputer antara lain berfungsi sebagai infrastruktur jaringan komunikasi dan informasi data bisnis dalam satu gedung (local areas network), hingga yang lebih luas antar gedung atau antar benua (wide area network).


Irawan Purwono, seorang insinyur teknik elektro lulusan ITB Bandung (September 1986), di hadapan dewan juri juga membuka semua kinerja keuangan perusahaan berikut unsur-unsur inovasi dan ide orisinil yang dimiliki membangun bisnis.
Demikian pula misi dan visi perusahaan yang didirikan oleh ayah tiga orang anak lelaki ini dalam mendirikan CompNet, hingga kini dikenal sebagai sebuah sistem integrator jaringan komputer terkemuka Indonesia.


Irawan juga mengutopiakan mimpi untuk membawa perusahaan menjadi sekelas MNC (mutinational companies), yang berbasis di Indonesia namun beroperasi di berbagai negara.

Finalis WEOY
Irawan Purwono memang belum berkesempatan untuk terpilih dan berangkat ke Monaco, mewakili Indonesia dalam forum World Entrepreneur of The Year (WEOY) yang dilangsungkan setahun kemudian pada 28 Mei 2005 di Monte Carlo, Monaco. Akan tetapi, ketika namanya diumumkan menjadi finalis saja sudah banyak kolega dan rekan-rekan bisnis yang kadung dengan segera memberikan ucapan selamat kepada Irawan, baik melalui telepon maupun SMS. Salah satu bunyinya, yang terbanyak terekam, antara lain, “Congratulations, You are setingkat Mochtar Riady”.


Ya, Mochtar Riady pendiri dan pemilik Grup Lippo yang juga dikenal sebagai “Filsuf Bisnis Keuangan”, bersama Irawan Purwono adalah nama-nama di antara 15 Finalis WEOY 2004.
Ini menunjukkan penilaian objektif dari para Dewan Juri, yang walau skala bisnis mereka berbeda namun keduanya memiliki nilai dan jiwa serta semangat kewirausahaan yang sama tinggi sehingga sukses membangun bisnis bermula dari bawah.


Ada nilai-nilai yang mempersamakan Irawan Purwono dan Mochtar Riady sehingga Dewan Juri layak menyejajarkan keduanya bersama yang lain sebagai finalis. Para finalis EoY 2004 memang sudah terbukti semua memiliki spirit entrepreneurship yang tangguh.


Selengkapnya nama-nama mereka adalah Garibaldi Thohir (PT Wahana Ottomitra Multiartha), Hariono (Dayu Group), Irawan Purwono (PT Nusantara Compnet Integrator), Johannes Oentoro (Yayasan Pelita Harapan), Mochtar Riady (Lippo Grup), Moetaryanto (Group Petrolog), Rijanto Joesoef (PT Surya Multi Indopack), Rudy Wanandi (PT Asuransi Wahana Tata), Saripin Taidy (PT Probesco Disatama), Setyono Djuandi Darmono (PT Jababeka Tbk), Simarba Atong Tjia (President Director & Owner, Cahaya Buana Intitama), Sumadi Kusuma (PT Ocean Global Shipping/Global Putra International Group), UT Murphy Hutagalung (Presdir Arion Paramita Holding Company), dan Zakiah Ambadar (Managing Director, PT Lembanindo Tirta Anugrah).

Berjaya di Saat Krisis
Irawan pun mahfum menjadi entrepreneur terkemuka rupanya bukan semata-mata ditentukan oleh besarnya revenue perusahaan, kapitalisasi, modal yang dimiliki, atau semata-mata hanya terbatas bagi para konglomerat yang sudah berhasil dan malang melintang di dunia bisnis.


Melainkan bagaimana sesungguhnya kegigihan para pendiri dalam membangun usaha, dan apa semangat yang menjiwai pengelolaan perusahaan hingga berhasil. Dan, justru ini menurut Irawan yang lebih terutama, apa saja inspirasi baru yang dapat ditawarkan oleh sang entrepreneur sampai-sampai bisa menulari banyak orang untuk berani terjun menjadi wirausahawan sejati.


Irawan Purwono awalnya bergerak hanya bersama lima orang sahabat, sebagai pendiri dan pemilik perusahaan saat memulai PT Nusantara Compnet Integrator (CompNet) Maret 1997, persis beberapa bulan sebelum krisis ekonomi berskala multidimensional melanda Indonesia.


Bisa dibayangkan, dalam kalkulasi bisnis saat itu adalah mustahil sebuah perusahaan yang baru berdiri apalagi memiliki komitmen kuat untuk hanya bergerak fokus pada bidang penyediaan jasa solusi total sistem integrasi jaringan komputer, dapat bertahan.


Sebab semua perusahaan yang potensial menjadi customer kekuatan daya beli dan determinasi mereka benar-benar sedang menghilang. Seperti kalangan perbankan, yang kebanyakan sudah dimasukkan ke program penyehatan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).


Tetapi dengan semangat kewirausahaan yang tinggi Irawan berhasil memompa daya juang para karyawan yang jumlahnya masih terbatas, agar memiliki sikap yang tangguh dan keahlian yang tinggi, serta dapat dipertanggungjawabkan untuk membangun kepercayaan pelanggan.


Karena solusi sistem integrasi jaringan yang dibangun dimaksudkan untuk membuat pelanggan dapat menjalankan roda bisnis perusahaan menjadi lebih cepat, CompNet, yang menyediakan solusi justru di tengah-tengah krisis ekonomi yang sedang melanda, pada akhirnya dapat bertahan bahkan segera berhasil meraih kepercayaan pelanggan dalam waktu singkat.


CompNet berjaya justru di saat krisis memuncak. CompNet sukses membangun sejumlah instalasi jaringan komputer secara terintegrasi sesuai standar internasional.


Sebagai bukti keberhasilannya menyediakan solusi, tak berapa lama, atau hanya dua tahun sesudah berdiri CompNet tampil sebagai perusahaan lokal pertama yang berhasil meraih penghargaan sebagai “Cisco Silver Certified Partner” dari Cisco Systems Indonesia November 1999.


Sebuah pencapaian yang tidak mudah, sesungguhnya. Sebab terbukti untuk dapat naik pangkat menjadi “Gold Certified Partner of Cisco System”, CompNet membutuhkan waktu cukup lama hingga baru berhasil meraihnya pada Desember 2003.


Ketika meraihnya pun CompNet adalah perusahaan lokal pertama yang bisa mencapai predikat Gold Certified Partner of Cisco System.


Khusus dengan Cisco, CompNet merupakan partner yang dapat bekerjasama dengan baik. Sejumlah penghargaan lain masih bisa diraih yang membuktikan keeratan kemitraan keduanya.


Pada bulan Juli 1997, misalnya, CompNet mencapai predikat “Cisco System’s Premier Certified Partner”; April 1998 sebagai “The FIRST Local Company who has developed CCIE”; Januari 1999 sebagai “The Rising Star of the Year”; Agustus 1999 sebagai “The HIGHEST number of people certified by Cisco System”; November 1999 sebagai “The FIRST local (national) company who achieved “Silver Certified Partner of Cisco Systems”; Agustus 2000 sebagai “Cisco Spotlight Silver Partner of The Year”; November 2002 sebagai “The HIGHEST number of people certified by Cisco System”; dan akhirnya pada Desember 2003 meraih penghargaan “The FIRST local (national) company who achieved “Gold Partner of Cisco Systems”.

Bermodalkan Semangat Juang
Irawan Purwono, alumni ITB Bandung Jurusan Teknik Elektro yang diwisuda pada bulan September 1986, membangun CompNet nyaris dengan modal yang terbatas. Modal utama sesungguhnya adalah keinginan besar untuk menjadi seorang wirausahawan sejati yang disegani di berbagai negara.
Spirit ini didukung oleh berbagai pengalaman sebelumnya, antara lain sebagai sales dan system engineer di sejumlah perusahaan seperti PT Berca Indonesia selama tiga tahun (November 1986-Juni 1989), dan PT Metrodata Electronics selama 4,5 tahun (Juli 1989-Oktober 1993).


Demikian pula sebuah pengalaman pahit nan tak akan terlupakan ketika mencoba terjun untuk pertamakali membangun usaha sendiri bersama kawan-kawan sesama mantan alumni Metrodata PT UniPro Nuansa Indonesia (sejak November 1993 hingga Februari 1997).


Di perusahaan kongsi yang didirikan dan dimiliki secara bersama-sama ini Irawan secara berjenjang pernah bekerja sebagai system engineer, senior technical support engineer, technical support manager, sales manager hingga mencapai puncak tertinggi sebagai Presiden Direktur PT UniPro Nuansa Indonesia (sejak Desember 1995 hingga Feberuari 1997).


Irawan keluar dari UniPro untuk segera mendirikan lagi perusahaan baru PT Nusantara Compnet Integrator (CompNet). Saat perusahaan ini didirikan pada Maret 1997, jumlah pemain di bisnis sistem integrator (SI) masih bisa dihitung dengan jari. Itupun, rata-rata dimiliki oleh para konglomerat melalui perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki.


Mereka mendirikan perusahaan SI hanya karena sudah memiliki divisi integrasi, yang di dalamnya mencakup bidang Teknologi Informasi (TI). Mereka misalnya Ciputra yang memiliki PT Metrodata Electronics, Mochtar Riady denganPT Multipolar, William Soerjadjaya dengan PT Astra Graphia divisi Information Technology (AGIT), dan Murdaya Poo dengan PT Berca Indonesia. Demikian pula dengan nama lain Liem Sioe Liong atau Soedarpo Sastrosutomo semua memiliki perusahaan TI tersendiri.


Yang pasti saat itu rata-rata pengusaha besar memiliki perusahaan TI walau tak semua berhasil menjalankannya dengan rapi dan sehat termasuk Ciputra.


“Saya tahu karena saya pernah kerja di sana,” ujar Irawan, yang memiliki rasa kebanggaan luar biasa sebagai engineer saat masih bekerja di PT Metrodata Electronics.


“Waktu itu bekerja di Metrodata bangga sekali. Semua bule didatangin sama dia (Ciputra, maksudnya –Red), disuruhnya datang ke ulang tahun Metrodata,” kata Irawan.


Walau CompNet merupakan pendatang baru, karena memiliki keberanian yang luar biasa pada akhirnya Irawan Purwono berhasil menembus barikade bisnis yang dipasang para konglomerat tadi. Sebab sistem integrator yang secara fokus digeluti CompNet lebih mengandalkan keterampilan dan keahlian tingkat tinggi berstandar internasional, bukan mengandalkan kapital besar atau sumberdaya manusia massif berbiaya mahal.


Irawan memperoleh keberuntungan lain memilih bisnis TI yang masih nonregulated sehingga ada kebebasan untuk berkompetisi secara sehat atau free competition.
Bisnis TI hanya membutuhkan 4-C yaitu company yang menjual jasa, customer yang membeli jasa, chain sebagai jaringan pemasaran jasa, dan competition yang memberi kebebasan berkompetisi menjual jasa secara fair.


Bisnis model TI berbeda misalnya dengan perusahaan listrik yang hanya memerlukan 2-C, yaitu company yang menjual listrik dan customer masyarakat sebagai pelanggan pembeli listrik.

CEO Visioner
Irawan membangun CompNet bersama lima orang sahabat. Modal usaha dikumpulkan urunan berenam. Perusahaan tak sekalipun beriklan atau promosi karena keterbatasan anggaran.


“Yang saya lakukan pertama kali adalah bagaimana menajamkan bidang yang mau kami geluti,” kata Irawan Purwono, seorang entrepreneur yang memiliki pandangan bisnis sangat visonir menjangkau jauh ke depan.
Pilihan untuk hanya fokus pada sistem integrator jaringan diilhami oleh masukan dari salah seorang staf pemasaran tentang teori pengorbanan (sacrifice) yang harus ada dalam marketing.


Salah satu poinnya, mengorbankan salah satu aspek dari organisasi yang dimiliki untuk menciptakan image yang mudah diterima pelanggan.


CompNet berhasil mengorbankan area usaha yang semula banyak sub-sub bidang, menjadi hanya fokus pada kompetensi sistem integrasi jaringan komputer (network integrator).


Maka jadilah CompNet memiliki trademark sebagai perusahaan sistem integrator jaringan komputer tanpa perlu membawa-bawa salah satu brand komputer atau sistem jaringan.


CompNet menempuh jalur berbeda dengan apa yang biasa dilakukan oleh konglomerat pemilik perusahaan TI, yang harus menggandeng nama prinsipal supaya bisa diterima pasar seperti merek-merek IBM, HP, DEC, Compaq, Acer, Sun, Oracle, Microsoft dan lain-lain. Kata CompNet Irawan definisikan sebagai Competent Partner in Networking.


Tindakan mempersempit bidang usaha atau pasar terbukti sangat begitu efektif meningkatkan pendapatan perusahaan.
Enam tahun sesudah berdiri CompNet tumbuh cepat hingga tampil menjadi pemimpin di semua kalangan perusahaan penyedia solusi sistem integrator jaringan.


Memiliki kantor operasional di Jakarta, Semarang, dan Surabaya CompNet menyediakan jasa ke semua bidang industri vertikal seperti industri perdagangan, manufaktur, perbankan, minyak dan gas hingga lembaga-lembaga pemerintah yang berkehendak membangun sistem integrasi jaringan komunikasi dan informasi data.


Cepatnya pertumbuhan CompNet seiring pula dengan meningkatnya kepercayaan pelanggan. CompNet sangat mengandalkan kemampuan teknik, kecepatan, dan semangat juang dalam memberikan servis sebagai satu-satunya kata kunci keberhasilan perusahaan sesuai visi yang telah digariskan Irawan Purwono.


Birokratisasi di-minimize serendah mungkin untuk memotong sistem prosedur yang biasa terjadi di perusahaan-perusahaan besar.


Keterampilan dan keahlian yang dimiliki oleh semua karyawan dimobilisasi supaya mampu mendukung visi perusahaan berjalan efisien, terlebih saat modal kerja yang dimiliki masih belum sebesar sekarang.


Karyawan yang notabene juga pendiri perusahaan diberi kebebasan untuk membuat keputusan sendiri kecuali apabila menghadapi tembok kesulitan atau sedang diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang beresiko tinggi. Kalau itu kejadiannya barulah berkonsultasi dengan “Sang CEO Entrepreneur yang Inspiratif” Irawan Purwono.


“Jika pelanggan puas dengan servis yang kami berikan, kemungkinan mereka akan memberitakan informasi tersebut dan menyebarluaskannya ke para kolega. Pemasaran seperti ini lebih efektif dan bersifat natural karena dituntut memberikan kemampuan dan keahlian terhadap servis yang dilakukan agar memuaskan bagi pelanggan,” kata Irawan, merujuk betapa CompNet dapat bergerak maju apa adanya tanpa polesan mesin pencitraan public relation, sebagaimana biasa dilakukan oleh perusahaan besar yang semata-mata lebih mengandalkan pencitraan artifisial.

Bermula Belasan Ribu Dollar AS
Karena itu Irawan Purwono tak sungkan untuk langsung menerima, apabila awalnya ia hanya dipercaya customer untuk mengerjakan proyek-proyek kecil bernilai belasan ribu dolar AS.


Irawan yakin angka-angka ini secara perlahan tapi pasti akan meningkat terus menjadi puluhan ribu, ratusan ribu bahkan hingga jutaan dollar AS.


Sebab terbuktilah sejak tahun 1999 CompNet mulai dipercaya menangani proyek senilai 300 ribu dolar AS, setahun kemudian melesat dipercaya menangani proyek telekomunikasi data pada bank BCA senilai 1,3 juta dolar AS.


Proyek ini sesungguhnya bernilai 2 juta dolar AS. Namun oleh owner terpaksa dibagi dengan kompetitor yang memang merupakan pemain lama di bidang ini bahkan rajanya untuk tingkat Asia Pasifik sebagai penyedia sistem integrator jaringan. CompNet dengan legowo bersedia menerima jalur kompromi daripada nanti malah dihantamin terus-menerus.


Lalu pada tahun 2003 CompNet bergabung dengan lima perusahaan lain dalam sebuah konsorsium pimpinan PT Mitra Integrasi Informatika, sebuah perusahaan sistem integrator milik Metrodata Group.


CompNet bersama konsorsium berhasil menyelesaikan proyek sistem jaringan telekomunikasi data Komisi Pemilihan Umum (KPU) senilai Rp 152 miliar, digunakan untuk keperluan Pemilu 2004.


“Yang jelas ada campur tangan Tuhan dalam semua langkah bisnis kami. Ya, mungkin Tuhan bersimpati sama saya,” kata Irawan mengenang kembali ucapan teman-teman tatkala limbung sebab pecah kongsi dengan para sahabat di PT UniPro Nuansa Indonesia.


Sahabat seakan menghibur saja tatkala mengatakan, Tuhan pasti akan menggantikan kerugian yang dialami tahun 1997 beratus kali ganda.

Sekelas Entrepreneur Dunia
Referensi keberhasilan menyelesaikan sejumlah kontrak pekerjaan dari owner sekelas Citibank, BP-ARCO, Bank BCA, Djarum, Ditjen Pajak hingga KPU, bagi Irawan sarat dengan nilai-nilai semangat kejuangan selaku entrepreneur.


Sebagai entrepreneur Irawan tak hanya bertindak sebagai pemimpin puncak di sebuah perusahaan sekaligus sebagai pemilik. Namun yang terutama dia seseorang yang memiliki jiwa yang harus bertanggungjawab atas segala perjalanan perusahaan dengan memikul resiko baik untung ataukah rugi.
Kesadaran ini ia kecap berdasarkan definisi kamus Oxford mengenai siapakah entrepreneur yang sesungguhnya itu. Yakni, a person who undertakes an enterprise or business, with the chance of profit or loss.


Kewirausahaan Irawan sangat pas pula dengan definisi entrepreneur yang pernah diungkapkan oleh Ciputra, mantan bosnya di PT Metrodata Electronics.


Filsuf pengembang properti ini dalam sebuah terbitan buku berjudul “10 Momen Penentu Seorang Entrepreneur Ir Ciputra” tulisan Antonius Tanan, menyebutkan, “Entrepreneur adalah seseorang yang inovatif dan mampu mewujudkan cita-cita kreatifnya. Seorang entrepreneur akan mengubah padang ilalang jadi kota baru, pembuangan sampah menjadi resor yang indah, kawasan kumuh menjadi pencakar langit tempat ribuan orang bekerja. Entrepreneur mengubah kotoran dan rongsokan menjadi emas.”


Cerita sungguhan (a true story) bagaimana Irawan memulai usaha sama persis pula dengan cerita para pelaku bisnis teknologi informasi kelas dunia lain yang rata-rata memulainya dengan cara yang sangat sederhana sekali.


Seperti yang dilakukan oleh duo William Reddington Hewlett dan David Packard, keduanya lulusan Stanford University, AS, yang mendirikan sekaligus menjadi pemilik Hewlett-Packard Development Company (HP) sebuah perusahaan teknologi informasi terbesar dunia. Duo ini memulai HP tahun 1934 bermula dari garasi mobil.


Demikian pula dengan hakekat cerita mengenai Bill Gates pendiri Microsoft yang harus cepat-cepat keluar dari kampus hingga tak sempat lulus kuliah demi memuaskan hajat memulai bisnis mengembangkan piranti lunak komputer.
Bahkan Bill Gates seorang filantropis dan orang terkaya dunia dengan catatan kekayaan melebihi 50 miliar dollar AS, pada akhirnya berhasil mengungguli “The Deep Blue” IBM di bidang sistem operasi personal computer (PC).


Michael Dell pendiri Dell Computer tak jauh berbeda kisah perjalanan hidupnya dengan Irawan Purwono sebagai sesama entrepreneur. Dell memulai bisnis dari kamar kost saat masih menjadi mahasiswa di University of Texas tahun 1983 dalam usia 18 tahun. Dengan modal awal seribu dollar AS Dell mulai menjual komputer yang dirakit sesuai pesanan. Ia melakukan berbagai hal untuk menjual komputer rakitan termasuk menjalankan bisnis secara door to door.


Menginjak tahun 1994 Dell secara inovatif mulai menjual komputer melalui internet dan hasilnya luar biasa sekali. Saat ini penjualan Dell melebihi 50 juta dolar perhari, secara keseluruhan nilai total perusahaan melebihi 31 miliar dolar.
Dell menyebutkan, seorang entrepreneur adalah orang yang memiliki ide baru atau berbeda serta berani mengambil resiko dan bekerja keras untuk mewujudkannya.


Untuk ukuran Indonesia Irawan Purwono sudah melakukan bahkan menjadi inspirasi bisnis yang kuat bagi para calon entrepreneur muda untuk berani memulai bisnis baru.

Filosofi “HILLS”
Dalam berbisnis Irawan seorang penganut agama Katolik yang taat, sangat memahami betul filosofi Santo Franciscus d’Assisi yang mengatakan, “Do what is needed, then do what is possible, and suddenly, you will realize that you have done the impossible”.


Di lingkungan perusahaan Irawan kemudian menumbuhkan sebuah filosofi baru sebagai spirit bersama yang terangkum dalam intisari kata “HILLS”.


HILLS adalah singkatan dari lima kata yakni: Helpful, hidup yang senang membantu dan menolong; Integrity, hidup yang menekankan kejujuran dan integritas dalam bekerja; Love, hidup yang menumbuhkan rasa cinta dan loyalitas abadi kepada perusahaan; Learn, hidup yang terbuka dan senang belajar tanpa henti secara berkelanjutan; serta Spirit of Excellence yaitu hidup yang bersemangat untuk selalu memberikan yang terbaik bagi perusahaan.


Irawan menghabiskan waktu bekerja di kantor paling tidak 12 jam sehari, bahkan bisa lebih. Kondisi ini didukung posisi rumah dan kantor yang saling bersebelahan, terletak di Jalan Kemanggisan Utama Raya Nomor 26, Jakarta Barat.


Di kantor inilah Irawan yang berhasil mengubahkan “wajah ilmiahnya” yang cenderung introvert menjadi wajah baru yang ekstovert hingga layak menjadi salesman dan marketer yang terbaik bagi perusahaan, aktif menjalankan bisnis. Irawan sehari-hari selalu tampil penuh semangat dan gembira terutama saat berdiskusi dengan para karyawan untuk memecahkan berbagai macam persoalan.


Sebagai entrepreneur yang relatif masih berusia muda Irawan rajin sekali membagi-bagikan visi bisnisnya ke semua orang. Ia juga memberikan motivasi, menunjukkan dukungan terhadap ide-ide orisinal, sekaligus menyuarakan peringatan-peringatan sebagai warning. Irawan pasti akan menyambut gembira setiap keberhasilan yang diraih karyawan. ►e-ti/ht

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Beranjak dari Tukang Cuci Mobil

Lahir dan dibesarkan di Nipah, Padang, Sumatera Barat, 22 Agustus 1916. Di situ juga dia mengecap pendidikan SD Adabiah, Padang (1929) dan MULO, Padang (1933). Kemudian, 1937, Hasjim Ning, yang kemudian bernama lengkap Masagus Nur Muhammad Hasjim Ning, hijrah ke Jakarta. Dia jadi tukang cuci mobil. Dua tahun kemudian, dia sudah dipercaya menjadi perwakilan NV Velodrome Motorcars di Tanjungkarang, Lampung.

Tak lama kemudian (1941), sempat jadi pemborong tambang batu bara di Tanjung Enim. Lalu dia kembali lagi ke Jakarta. Kemudian menjadi administratur perkebunan teh dan kina di Cianjur. Ketika itu pecah perang. Dia pun sempat ikut berperang bersama Alex Kawilarang, 1945 di Cianjur, Bandung Selatan. Lima tahun dia pensiun dengan pangkat letnan kolonel. Lalu mengikuti Kursus Pembukuan A 7 B, Jakarta (1952).

Setelah itu, Hasyim mendirikan Djakarta Motor Company. Tiga tahun kemudian, usaha dagang mobil itu berkembang menjadi usaha perakitan mobil yang pertama di Indonesia. Diberi nama Indonesian Service Station.

Sejak itu, pengusaha yang mendapat gelar kehormatan Dr HC bidang Ilmu Manajemen dari Universitas Islam Sumatera Utara, itu lebih banyak dikenal sebagai pengusaha perakitan mobil. Padahal dia juga pengusaha dalam berbagai bidang, baik ekspor-impor, bank, biro perjalanan, pabrik kosmetik, maupun konsultan rekayasa.

Sebagai pengusaha sukses dia pun terpilih menjadi Ketua Umum Kadin, 1979-1982. Selain itu, dia juga masih sempat berkecimpung dalam dunia politik. Bahkan menjadi Ketua Umum IPKI (1971). Partai ini kemudian ikut berfusi menjadi PDI. Namun 1978 ia mengundurkan diri dari PDI. Kemudian menyeberang ke Golkar menjelang Pemilu 1982.

Istrinya yang sekarang, Ratna Maida, adalah yang ketiga. Nama sang istri diabadikan pada nama yacht miliknya yang ditambat di pantai Marina, Ancol, Jakarta. Dengan yacht warna putih itu, penggemar golf ini sering memancing bersama keluarga. Ayah lima anak ini juga menyenangi musik klasik. ► ti/tsl

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Raja Muda Bisnis Multimedia

Hary Tanoesoedibjo, Presdir PT Bimantara Citra Tbk dinobatkan Warta Ekonomi sebagai salah seorang Tokoh Bisnis Paling Berpengaruh 2005. Disebut, tidak banyak orang yang sukses dalam industri media elektronik maupun cetak. Salah satunya adalah Hary Tanoesoedibjo. Tak heran bila kemudian dia dijuluki "Raja Muda Bisnis Multimedia".


Warta Ekonomi 28 Desember 2005: Kiatnya? Tahun 1989 ada orang yang bertanya: Siapa sih Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo? Dia baru berumur 25 tahun ketika mulai bekerja di PT Bhakti Investama. Waktu itu Hary baru saja meraih gelar Master of Business Administration dari Carlton University, Kanada. Namun, kalau pada 2005 masih ada yang bertanya siapakah Hary Tanoesoedibjo, atau yang akrab dipanggil Hary Tanoe, rasanya keterlaluan. Sebab, dialah raja bisnis multimedia di Indonesia.


Julukan “Raja Bisnis Multimedia” memang kian lekat pada pria kelahiran 26 September 1965 ini. Apalagi sejak mengambil alih PT Bimantara Citra Tbk. tahun 2000 lalu, Hary mengusung ambisi ingin menjadi jawara bisnis media penyiaran dan telekomunikasi. Dan, mimpi itu terbukti. Kini Hary Tanoe mempunyai tiga stasiun TV swasta: RCTI, TPI, dan Global TV, juga stasiun radio Trijaya FM dan media cetak Harian Seputar Indonesia dan Majalah Ekonomi.

Di bawah naungan PT Media Nusantara Citra (MNC), tak sampai lima tahun, Hary berhasil menguasai saham mayoritas di tiga stasiun TV tersebut. Saham MNC sendiri 99,9% dimiliki oleh Bimantara Citra, grup usaha yang dahulunya dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo, putra mantan Presiden Soeharto.


Sejak memiliki Bimantara, Hary kian agresif di bidang media. Ditambah lagi, Hary mempunyai kemampuan menentukan perusahaan-perusahaan media mana yang berpotensi untuk berkembang. Selain itu, banyak orang mengakui, kunci sukses Hary terletak pada kemampuannya menata kembali perusahaan yang sudah kusut alias bermasalah. Ini terbukti ketika pria yang kabarnya pernah tidak naik kelas di masa SMA ini membenahi Bimantara yang terbelit utang.


Sebelumnya, Bimantara juga memiliki stasiun radio Trijaya FM. Belakangan, untuk menambah eksistensinya dalam dunia media, Bimantara juga menerbitkan media cetak. Sampai saat ini ada majalah, tabloid, dan koran yang bergabung di bawah bendera Grup Bimantara. Ada majalah ekonomi dan bisnis Trust, tabloid remaja Genie, dan pertengahan 2005 lalu menerbitkan harian Seputar Indonesia.


Ke depan, MNC diproyeksikan menjadi perusahaan subholding yang bertindak sebagai induk media penyiaran di bawah Grup Bimantara. MNC juga bakal menjadi rumah produksi yang akan memasok acara-acara ke RCTI, TPI, Global TV, dan semua jaringan radionya. Selain itu, MNC akan membangun jaringan radio nasional di seluruh wilayah Tanah Air.



Maka, tak heran kalau, kabarnya, sepanjang tahun 2005 ini Hary telah menyiapkan dana sekitar US$20 juta untuk mewujudkan mimpinya melalui MNC tersebut. Bahkan, jika tidak ada halangan, seharusnya pada 2005 ini perusahaan MNC sudah bisa dijumpai di lantai bursa atau go public. Namun, tampaknya, sampai saat ini rencana untuk menambah modal melalui initial public offering belum kesampaian. (divera wicaksono)



***



Mr. Tanoesoedibjo was born in Surabaya in 1965. Mr. Tanoesoedibjo has successfully led the change of PT Global Mediacom Tbk from a conglomerate into a company with a focus on the Media and Telecommunication sectors.

Mr. Tanoesoedibjo has occupied the position as President Director of PT Global Mediacom Tbk since 2002. Mr. Tanoesoedibjo was previously the Vice President Commissioner of PT Global Mediacom Tbk. Mr. Tanoesoedibjo is the founding and controlling shareholder as well as the Group Executive Chairman of PT Bhakti Investama Tbk since 1989. In addition, he currently holds various positions in other companies, including as President Directors of PT Media Nusantara Citra (MNC) and PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) (a position he has held since 2003) and a member of the Board of Commissioners of PT Mobile-8 Telecom, Indovision and many other companies within the Global Mediacom group of companies as well as Bhakti Investama Group.

Mr. Tanoesoedibjo is currently serving as the General Treasurer of National Sports Committee (KONI). He has been a speaker in various seminars as well as a lecturer of Corporate Finance, Investments and Strategic Management for post graduate programs in various universities.

Mr. Tanoesoedibjo received a Bachelor of Commerce (Honours) degree from Carleton University, Ottawa, Canada, in 1988 and a MBA degree from Ottawa University, Ottawa, Canada, in 1989. (bimantara)

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Reformasi kimia Farma Ala Gunawan Pranoto

Pria kelahiran Yogyakarta tahun 1951 ini bersama segenap jajaran direksi dan staf karyawan mengubah persepsi dan citra lama tentang Kimia Farma. Caranya, secara fisik memperbaharui penampilan eksterior dan interior sebanyak 270 apotek yang dikelola yang tersebar di seluruh Indonesia. Bersamaan itu diciptakan pula budaya baru di lingkungan setiap apotek untuk lebih berorientasi kepada pelayanan konsumen.

Tidaklah mengheranbkan jika Sarjana Farmasi lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 1977, ini mengambarkan, 25 persen kesembuhan pasien diharapkan dihasilkan oleh kenyamanan dan kebaikan pelayanan apotek. Sedangkan sisanya 75 persen lagi berasal dari obat yang digunakan pasien.

Peraih predikat apoteker sejak tahun 1978 ini menyiapkan anggaran tidak sedikit untuk melakukan perubahan persepsi itu, sekitar Rp 13,5 miliar hingga Rp 27 miliar. Untuk satu apotek dia menghabiskan biaya antara Rp 50-100 juta. Angka itu masih di luar kebutuhan untuk biaya program training seluruh karyawan.

Dia, yang sempat menjabat Presiden Direktur PT Phapros April 2002 hingga sebelum terpilih sebagai Presiden Direktur PT Kimia Farma, Tbk pada Juni 2002, sangat ingin BUMN bidang farmasi yang dipimpinnya membawa wajah dan penampilan baru.

Dengan konsep baru dia menjadikan setiap apotek Kimia Farma sebagai pusat pelayanan kesehatan atau health center. Kimia Farma bukan lagi terbatas sebagai gerai untuk jual obat, melainkan didukung berbagai aktivitas penunjang seperti laboratorium klinik, praktek dokter, dan gerai untuk obat-obatan tradisional Indonesia seperti herbal medicine. Bila perlu obat-obatan Indonesia itu dipersandingkan dengan obat-obatan Cina yang bagus dan resmi untuk menumbuhkan persaingan yang sehat.

Setiap apotek Kimia Farma dengan konsep baru haruslah mampu memberikan servis yang baik, penyediaan obat yang baik dan lengkap, berikut pelayanan yang cepat dan terasa nyaman.

Secara bertahap mantan presiden direktur PT Indo Farma selama 10 tahun antara 1991 hingga 2001 ini memulai langkah dengan mengubah image, logo, dan berbagai pernik lain menjadi sesuatu yang baru. Hasilnya adalah sebuah konsep dengan eksterior serta interior baru. Namun yang tak kalah penting adalah perubahan itu telah disertai dengan budaya pelayanan yang baru pula.

Belajar dari penglihatan dia akan kesuksesan manajemen Bank Mandiri melahirkan persepsi baru tentang bank pemerintah yang baik, dia pun optimis cerita sukses serupa bisa dia lakukan di PT Kimia Farma, Tbk sebagai BUMN bidang farmasi yang baik.

Ayah dua orang anak ini selalu menjalankan bisnis sesuai dengan kemampuan yang dibarengi dengan itikad baik. Dia berprinsip seseorang boleh pintar dan hebat, namun kalau itikadnya tidak baik maka hasilnya adalah sebuah perusahaan yang tidak baik pula. Demikian pula Kimia Farma akan bisa menjadi perusahaan yang baik atau malah menjelma menjadi perusahaan yang tidak baik.

Sebagai putra kelahiran Yogyakarta seluruh pendidikan formalnya dia selesaikan di wilayah situ juga. Seperti, Sekolah Dasar (SD) di Bantul lulus tahun 1962, Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 1965, Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1968, hingga perguruan tinggi dia selesaikan di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, jurusan farmasi selesai tahun 1977.

Dia berhasil meraih predikat apoteker persis setahun kemudian yaitu di tahun 1978. Masih pada tahun yang sama, tahun 1978, dia mulai bekerja sebagai General Manager di PT Rajawali Nusindo, Jakarta, sebuah anak perusahaan BUMN RNI Group. Di situ sehari-hari dia bertanggungjawab perihal distribusi obat-obatan dan alat kesehatan produksi PT Phapros, Semarang, masih anak perusahaan RNI Group, maupun produksi dari prinsipal asing dan domestik.

Bersamaan itu dia ditugaskan pula untuk mengkoordinasikan kegiatan pemasaran produk PT Phapros, sebuah tugas yang dia jalani hingga tahun 1983. Semenjak tahun 1984 hingga 1988 penggemar olahraga tenis ini memperoleh penugasan baru sebagai General Manager PT Phapros, di Semarang.

Usai dari Semarang dia kembali ke Jakarta sebagai General Manager di PT Rajawali Nusindo, Jakarta tahun 1989-1991. Lepas dari itu posisinya meningkat langsung menjadi Presiden Direktur PT Indofarma, selama 10 tahun sejak 1991 hingga 2001. Dia masih sempat kembali sebentar ke PT Phapros, Semarang, namun sudah sebagai direktur utama yaitu di bulan April 2002. Pada bulan Juni 2002 oleh para pemegang saham dia dipercaya memimpin PT Kimia Farma Tbk, sebagai presiden direktur dengan dukungan ribuan karyawan.

Dengan jumlah karyawan ribuan dia harus benar-benar mengutamakan aspek sumberdaya manusia (SDM) dalam setiap menggerakkan roda perusahaan. Karenanya peran SDM bagi dia menjadi sangat penting untuk menentukan maju mundur perusahaan. “Dan tidak hanya perusahaan saya kira, negara juga begitu,” ujarnya menggambarkan begitu strategisnya aspek SDM bagi kemajuan perusahaan, termasuk Kimia Farma yang masih menguasai pangsa pasar obat generik sekitar 22-23 persen, terbesar kedua di bawah PT Indofarma, Tbk.

Kepercayaan pemegang saham itu sesungguhnya tidaklah berlebihan untuk seseorang yang telah sangat paham dengan lika-liku kepemimpinan perusahaan. Sebab sebelumnya dia sudah kenyang dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan manajemen yang diperoleh dari berbagai pelatihan, lokakarya, dan berbagai seminar kepemimpinan.

Misalnya, pendidikan dan latihan di Departemen Keuangan tahun 1982, lokakarya perencanaan strategis dan pengambilan keputusan di LPPM tahun 1983, decision making and problem solving (Minaut) juga di LPPM tahun 1984, lokakarya pengelolaan industri farmasi masih di LPPM tahun 1986, dan dari berbagai seminar dalam dan luar negeri.

Dengan beragam keahlian manajemen itu dia memimpin PT Kimia Farma, Tbk yang memiliki beragam produk seperti produk ethical, over the counter (OTC), hingga herbal medicine alias jamu-jamuan. Terdapat 250 jenis produk dihasilkan dan dipasarkan oleh Kimia Farma sebagian terbesar untuk konsumsi dalam negeri. Merek-merek yang sudah dikenal luas misalnya Batugin, Enkasari, Antussin, Fitolac, dan lain-lain.

Obat antibiotik adalah unggulan Kimia Farma, sama seperti perusahaan farmasi lainnya. Kondisi demikian terkait dengan pola penyakit di Indonesia yang dominan penyakit infeksi. Baru Kemudian menyusul obat-obatan degeneratif seperti obat jantung, kardiovaskuler, dan lain-lain.

Selain memahami betul persoalan kepemimpinan dan manajemen perusahaan dia juga sarat dengan beragam kegiatan organisasi profesi bidang farmasi. Dia adalah Ketua I Pengurus Daerah (Pengda) Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) wilayah Jawa Tengah, tahun 1987-1988.

Kemudian di tingkat nasional dipercaya sebagai Ketua Bidang Industri PP (Pengurus Pusat) GP Farmasi Indonesia (1989-1995), serta Wakil Ketua Umum PP GP Farmasi Indonesia (1996-1999). Yang terbaru adalah menduduki posisi sebagai Ketua Majelis Kode Etik di GP Farmasi serta Ketua III Pengurus Pusat GP Jamu Indonesia sejak tahun 2000.

Dengan beragam kelebihan yang dimiliki dia bermaksud menaikkan grade perusahaan pemegang sertifikat ISO 9001 dan ISO 9002 ini ke posisi tiga besar industri farmasi terbesar Indonesia. Jalan ke arah itu adalah mendongkrak kinerja perseroan dan cara adalah melakukan upaya restrukturisasi.

Implementasi restrukturisasi diharapkan mampu meningkatkan value perusahaan paling tidak 50 persen lebih tinggi dari kondisi normal. Naik tidaknya kinerja perusahaan itu terlihat pada posisi harga saham PT Kimia Farma, Tbk di lantai bursa. ►ht

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)