Entrepreneurship

Dunia Wira Usaha Indonesia

Saturday, August 16, 2008

Terobosan Melsa Kembangkan Jaringan Kabel Sendiri

Kota Bandung kini mendapat julukan baru: Bandung lautan wireless. Pasalnya, semua pemberi jasa layanan akses Internet (Internet service provider/ISP) di Kota Kembang yang bermain di frekuensi 2,4 Ghz menggunakan akses wireless (nirkabel). Akibatnya, penggunaan frekuensi menjadi tidak teratur, saling tumpang tindih dan tidak efisien. Ujung-ujungnya, akses Internet menjadi boyot. Kalau pun ada ISP yang menggunakan jaringan kabel, maka yang digunakannya teknologi asymmetric digital subscriber line (ADSL). Padahal untuk mendapatkan layanan ADSL ini biayanya sangat mahal, karena mesti memanfaatkan lini telepon milik Telkom atau Indosat. Jadi, user mesti membayar dua tagihan: ke ISP sebagai pengelola akses dan ke pemilik jaringan kabel.

Nah, di tengah keruwetan nirkabel yang melanda Bandung tersebut, PT Melvar Lintasnusa – dengan merek dagangnya Melsa – membuat terobosan maju bagi dunia ISP di Indonesia dengan mengembangkan jaringan kabel sendiri. Hebatnya, jaringan kabel yang dikembangkan Melsa ini bukan lagi menggunakan teknologi ADSL, melainkan symmetric digital subscriber line (SDSL). Jaringan SDSL milik Melsa berbasis kabel fiber optic yang mampu mengalirkan data dengan kecepatan hingga 2 Mbps. Melalui teknologi SDSL ini, user akan memperoleh kecepatan akses yang sama, baik upload maupun download. Dengan kata lain, bandwidth yang ke arah dan dari arah pelanggan akan tetap sama cepatnya.

Dijelaskan Rully Budisatya, Wapresdir PT Melvar Lintasnusa, setelah lebih dulu melakukan studi kelayakan dan riset sejak tahun 2001, pemasangan kabel mulai dilakukan pada akhir 2003 dengan menyusuri Kota Bandung hingga ke Cimahi. Untuk pengembangan proyek ini Melsa tidak sendirian, tapi menggandeng perusahaan penyelenggara TV kabel di Bandung, PT Fasindo Jaya (FJ). Melalui kerja sama ini Melsa bisa menggunakan jalur koneksinya dengan memanfaatkan fasilitas jaringan TV kabel milik FJ “Kami melihat bahwa tren penggunaan Internet ini mengarah ke dedicated line, di mana user tidak memerlukan segala prosedur koneksi, seperti mesti dial up dulu, log in atau menggunakan password. Tetapi, begitu user menyalakan komputer sudah langsung terkoneksi ke Internet. Jadi, upaya ini untuk merespons tuntutan pasar,” Rully mengungkapkan.

Diklaim Rully, kini cakupan jaringan kabelnya sudah mencapai hampir seluruh Kota Bandung dan sebagian Cimahi. Seluruh cakupan itu dilayani oleh 8 point of present (PoP) atau sentral. Satu PoP untuk melayani satu daerah tertentu supaya jarak kabelnya tidak terlalu jauh. Umumnya, jarak satu PoP dengan PoP lainnya 4-5 km. Jika terlalu jauh, maintenance-nya mahal dan koneksi pun tidak terlalu baik. Idealnya, jarak antar-PoP bisa lebih pendek lagi. Namun tentu saja, investasinya mahal. Maklum, untuk satu PoP saja membutuhkan biaya Rp 3-4 miliar. Biaya paling mahal digunakan untuk membeli kabel. Harga kabel fiber optic yang diimpor dari Cina dan Taiwan ini sekitar Rp 20 ribu per meter per core. Adapun untuk bisa mencakup seluruh Kota Bandung dan Cimahi diperlukan lebih dari 30 km kabel. Ditargetkan, untuk bisa mencakup seluruh Bandung, sampai akhir tahun akan membangun 4-5 PoP lagi. Sementara untuk Cimahi diharapkan bisa tercakup 60%-70%.

Dibandingkan dengan menggunakan layanan ADSL, Rully berani mengklaim bahwa layanan SDSL Melsa jauh lebih murah. Sebab, jika pengguna Internet memakai layanan ADSL, ia mesti mebayar dua kali: ke ISP dan pemilik kabel. Minimal pelanggan mesti membayar Rp 2 juta per bulan. Bagaimana dengan layanan SDSL dari Melsa? Dijelaskan Rully, jasa layanan akses Internet Melsa ini dibagi dua, yakni Melsa Kabel Personal (MKP atau SOHO) dan Melsa Kabel Corporate (MKC).

Untuk MKP, biaya berlangganannya Rp 690 ribu per bulan. Dengan mengeluarkan biaya sebesar itu, pelanggan bisa mendapatkan fasilitas akses Internet selama 24 jam tanpa biaya pulsa, dengan kecepatan (set maksimum modem) sebesar 384 K (ungarranted). Selain itu, pelanggan tidak perlu membeli perangkat dan kabel. Sebab, kabel dan perangkat modem akan dipinjami Melsa selama masa berlangganan. Sementara untuk MKC, tarif biaya berlangganan mulai dari Rp 2.675.000 per bulan. Dengan mengeluarkan biaya berlangganan sebesar itu, perusahaan pengguna jasa bisa mendapat kecepatan akses sebesar 64 kbps. Dan, tidak seperti MKP, maka untuk MKC sistem sewanya berdasarkan per kecepatan.

Diklaim Rully, sejak dipasarkan Agustus 2005, pelanggan MKP sudah mencapai 600 user. Adapun pelanggan MKC, yang lebih awal dipasarkan, jumlahnya mencapai 300 perusahaan dari berbagai industri, seperti perbankan, resto (Mc Donald’s) atau instansi (USAID). Termasuk salah satu perusahaan asing yang memiliki sebuah game centre di daerah Setiabudi (Bandung Utara). Perusahaan ini telah berlangganan sejak 1,5 tahun lalu dengan menggunakan kecepatan akses hingga 2 Mbps. Padahal, untuk 1 Mbps harga sewanya mulai Rp 18 juta per bulan. “Kami juga heran, di Bandung bisa ada perusahaan yang memerlukan akses sebegitu tinggi dengan bayaran puluhan juta per bulan,” ucap Rully sambil tertawa. Ditargetkan, hingga akhir tahun jumlah pelanggan personal bisa mencapai 2 ribu user, sedangkan untuk korporat bisa mencapai 700 perusahaan.

Secara hitung-hitungan kasar, jelas bahwa kalkulasinya masih jauh dari untung, dan butuh waktu lama untuk bisa balik modal. Bahkan, pengamat jaringan dan multimedia, Faizal, menyangsikan dan menyebut proyek yang dikembangkan Melsa ini sangat berisiko. Sebab, biaya yang dibutuhkan sangat besar, sementara pemakai bandwidth masih kosong. Menurutnya, pengembangan jaringan fiber optic ini memang bisa menghasilkan layanan multimedia karena bandwidth-nya sangat besar hingga gigabite. Akan tetapi, di pasar hanya ada dua industri yang membutuhkan kapasitas bandwidth besar, yakni perbankan dan aplikasi multimedia. “Pertanyaannya, untuk saat ini, perusahaan apa yang memerlukan bandwidth sebesar itu? Sementara untuk aplikasi multimedia, saya tidak yakin dalam lima tahun ke depan bisa diminati. Proyek yang dilakukan Melsa itu sebagai langkah untuk memenangi persaingan. Namun, itu sangat high risk move,” ujar Faizal. Terlebih, daya akses Internet di Bandung masih sangat sedikit dibandingkan dengan Jakarta.

Skeptisme Faizal bisa dimaklumi Rully. Menurutnya, memang butuh waktu lama untuk bisa break even point. Diperkirakan, kalau hanya melulu jualan Internet dengan jangkauan pasar Bandung dan sekitarnya, maka modal baru bisa kembali setelah 10 tahun. “Untuk saat ini, terus terang saja, tidak bisa untung. Terpenting bisa menutup biaya operasional dulu. Kalau dari investasi jelas tidak akan untung. Tetapi kami melihatnya jauh ke depan. Assessment yang kami lakukan di teknologi informasi (TI) beda dari investasi di industri lain, jangkauannya mesti jangka panjang. Ini longterm invesment,” kata Rully berkilah.

Dijelaskan Rully, pengembangan jaringan fiber optic ini bertujuan untuk menangkap peluang di masa depan. Inovasi apa pun di dunia Internet di masa depan, maka Melsa sudah memiliki jaringannya. Apalagi kecenderungan TI ke depan, semua sudah mengarah ke IP based. Jika sekarang jaringan kabel ini baru bisa digunakan untuk SDSL, ke depan semua aplikasi multimedia bisa menggunakan jaringan kabel itu. Dicontohkannya, Indovision atau Astro sekarang sudah IP based. Dan, itu bisa dilakukan Melsa di jaringannya, jika memiliki lisensi. Atau, layanan VoIP, juga bisa ditaruh di jaringan ini. Singkatnya, jaringan kabel yang dikembangkan Melsa bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan apa saja di masa depan. “Melsa melakukan terobosan untuk aplikasi multimedia. Itu luar biasa. Tetapi, jika itu tidak didukung pemasaran yang kuat, maka utilisasi akan rendah. Dalam jangka pendek dan menengah, Melsa akan struggling. Tetapi kalau ia bisa melakukan terobosan pemasaran, maka bisa survive,” tutur Faizal.

Menurut Rully, sejauh ini pihaknya telah melakukan upaya pemasaran secara intensif. Walaupun bentuknya lebih banyak bersifat promosi personal atau pelatihan. Namun, untuk keperluan itu sengaja dikembangkan Melsa Hotspot, yakni media akses Internet menggunakan Wi-Fi secara gratis. Saat ini, diklaim Rully, pihaknya sudah memiliki 13 titik Melsa Hotspot. Terutama di area public service dan pusat-pusat perbelanjaan, resto atau hotel-hotel di Bandung. Dari Melsa Hotspot inilah diperoleh database calon pelanggan dan menjadi acuan untuk melakukan pemasaran. Sebab, setiap calon pemakai yang masuk ke konter Melsa Hotspot ini mesti daftar (gratis), mengisi identitas diri, dan menjawab angket pertanyaan yang disediakan. Dari situ kami bisa tahu siapa pengguna, alamat, profesi hingga pengetahuan mengenai Internet. Juga bisa ketahuan, jumlah pengakses datang dari daerah tertentu, maka kami targetkan penjualan di tempat itu, ungkap Rully.

Saat ini, selain Melsa Kabel, perusahaan yang berbasis di Bandung dan telah berkibar sejak 1994 ini memiliki jenis dagangan lain, seperti: Melsa Dial Up, Melsa Wireless (khusus korporat), Web development, Web hosting, server dan layanan jasa Internet lainnya.

(SWA 11/XXI/ 1 Juni 2006)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home